Bismillah.
Kita mungkin pernah mendengar kata dalam bahasa Jawa yaitu ‘jugrug’ artinya runtuh atau roboh. Begitu pula ‘ambrol’ yang artinya hancur atau pecah berantakan. Dua kata ini melukiskan keadaan sebuah bangunan atau bagian bumi yang rusak dan runtuh atau ambruk.
Begitulah kiranya kurang lebih gambaran orang yang melakukan amalan tanpa landasan keikhlasan. Sebab ikhlas adalah pondasi dan asas tegaknya amalan. Oleh sebab itu para ulama fikih dan hadits kerapkali membawakan hadits tentang niat di awal kitabnya. Seperti yang dilakukan oleh Imam Bukhari dalam Sahih-nya, Imam Nawawi dalam Riyadhus Shalihin-nya, dsb. Hal ini mengingatkan kepada kita bahwa sebesar apa pun amalan jika tidak didasari niat yang benar akan sia-sia.
Allah berfirman (yang artinya), “Dan Kami hadapi apa-apa yang telah mereka lakukan lalu Kami jadikan ia bagaikan debu-debu yang beterbangan.” (al-Furqan : 23)
Allah pun menegaskan (yang artinya), “Sungguh telah diwahyukan kepadamu dan kepada orang-orang sebelummu; Jika kamu berbuat syirik pasti akan lenyap seluruh amalmu dan benar-benar kamu akan termasuk golongan orang-orang yang merugi.” (az-Zumar : 65)
Allah mengisahkan (yang artinya), “Apakah orang yang membangun pondasi bangunannya di atas takwa kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya itukah yang lebih baik ataukah orang yang membangun pondasi bangunannya di tepi jurang yang miring lalu runtuh bersamanya ke dalam neraka Jahannam.” (at-Taubah : 109)
Syaikh Abdul Malik Ramadhani menjelaskan, bahwa ayat ini berbicara tentang orang-orang munafik yang membangun masjid untuk sholat di dalamnya. Akan tetapi disebabkan amal yang agung ini mereka lakukan tanpa disertai dengan keikhlasan maka amalan itu tidak bermanfaat untuk mereka sedikit pun, bahkan ia justru menyeret dan menjerumuskan mereka ke dalam neraka Jahannam (lihat Sittu Duror min Ushuli Ahlil Atsar, hal. 13)
Oleh sebab itu seorang yang arif dan bijaksana tentu akan perhatian dan fokus untuk memperbaiki dan memperkuat pondasi sebelum meninggikan bangunan dan menghiasinya dengan berbagai perabot dan perlengkapan. Adapun orang yang bodoh akan ‘memaksakan diri’ untuk terus meninggikan bangunan dan mencari berbagai perhiasan dan perabot yang serba wah dan megah. Maka tidaklah heran jika ‘bangunan’ yang didirikan olehnya lekas ambruk dan cepat hancur tatkala bertiup badai fitnah dan menerpanya hembusan kerancuan pemahaman…
Karena itulah para ulama selalu memesankan kepada kita untuk belajar Islam mulai dari dasar sedikit demi sedikit. Seperti ucapan ulama yang dinukil oleh Imam Bukhari di dalam Shahihnya dalam Kitabul Ilmi, bahwa orang yang rabbani ialah yang membina manusia dengan ilmu-ilmu yang kecil (dasar) sebelum ilmu-ilmu yang besar (rumit). Inilah salah satu rahasia tarbiyah dan kejayaan Islam yang telah dicapai oleh para sahabat radhiyallahu’anhum. Mereka tidaklah melampaui sepuluh ayat melainkan berusaha memahami kandungan ilmu dan amal serta keimanan yang ada di dalamnya, mereka mempelajari ilmu dan amal secara beriringan.
Begitu pula tauhid dan aqidah, jangan kira dalam waktu sehari, seminggu, sebulan dua bulan, setahun atau dua tahun manusia mengerti pokok-pokok aqidah Islam dengan kokoh dan kuat. Butuh waktu yang panjang dan penjelasan yang gamblang. Lihatlah teladan kita nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak jemu-jemu mendakwahkan tauhid dan memperingatkan manusia dari bahaya syirik dan perusak-perusak iman yang bertebaran di tengah masyarakatnya.